Sunday, 5 April 2015

FIQIH 4 MAZHAB MUNAKAHAT (NIKAH)


Fiqih 4 Mazhab Munakahat (Nikah)
Pada bab ini kita akan membahas munakahat menurut para ulama mazhab (Hambali, HanafI, Syafi’i dan Maliki).
1.      Akad Nikah
Para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan di anggap sah jika di lakukan dengan akad, yang mencakup ijab dak qabul antara keduanya, dan sebaliknya tidak akan sah jika tidak di sertai dengan akad. Para ulama mazhab juga sepakat bahwa nikah itu sah bila di lakukan dengan menggunakan redaksi “zawwajtu” (aku mengawinkan) atau “ankahtu” (aku menikahkan) atau orang yang mewakilkannya dengan redaksi “qabiltu” (aku terima) atau “radhitu” (aku setuju).
2.      Saksi Akad Nikah
Disini para ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya nikah tanpa saksi. Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil.
Syafi’i  dan Hambali berpendapat  bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki muslim dan adil, sedangkan Maliki saksi tidak wajib hukumnya dalam akad nikah.
3.      Wali Nikah
Pembahasan ini meliputi masalah-masalah sebai berikut:
·         Wanita yang Balingh dan Berakal
Semuau ulama mazhab kecuali Hanafi berpendapat: jika wanita yang baligh, berakal, sehat dan itu masih gadis, maka hak mengawinkannya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya: wali tidak boleh menikahkan wanita janda itu tanpa persetujuannya,dan sebaliknya janda itu tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu walinya.
Sementara Hanafi sebaliknya, mengatakan bahwa wanita yang baligh, sehat dan berakal boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, orang orang yang di pilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari  dengan mahar mitsli.
4.      Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi
Larangan itu ada dua bagian: karena hubungan nasab dan karena sebab (yang lain). Larangan yang pertama ada 7 macam, dan itu menyebabkan keharaman untuk selama-lamanya. Sedangkan yang kedua ada sepuluh macam, yang sebagian mneyebabkan keharaman untuk selamanya, dan sebagian lagi hanya bersifat sementara.
                   I.            Larang karena nasab
Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita-wanita yang tersebut di bawah ini haram dikawini karena nasabnya:
1)      Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.
2)      Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau perempuan, hingga keturunan di bawahnya.
3)      Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu.
4)      Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari piahak ayah dan seterusnya.
5)      Saudara perempuan ibu, termasuksaudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah dan seterusnya.
6)      Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.
7)      Anak-anak perempuan saudara perampuan hingga keturunan di bawahnya.
Adapun dalil yang menjadi pijakannya adalah [Q.S.4:23]:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan ...
                II.            Karena ikatan perkawian (mushaharah)
Mushaharah  adalah hubungan anatara seorang laki-laki dan perempuan yang dengn itu menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu diantaranya:
1)      Isrti ayah (mertua)
Seluruh amazhab sepakat bahwa istri yah haram dinikahi oleh anak kebawah. Dengan dalil firan Allah [Q.S.4:22]
Dan janganlah kau kawini wanita=wanita yang telah dikawini ayahmu
2)      Istri anak (menantu)
Seluruh mazhab sepakat bahwa istri anak laki-laki haram di kawini oleh ayah ke atas, dengan dalilnya [Q.S.4:23]
“(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)
3)      Ibu istri, Seluruh mazhab sepakat bahwa ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas adalah haram dikawini, dengan dalil [Q.S.4:23]
“(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu istrimu (mertua)”
4)      Anak tiri, Seluruh mazhab sepakat bahwa anak perempuan istri (anak perempuan tiri) haram dinikahi sepanjang ibunya belum dicampuri, dipandang dan disentuh dengan birahi, dengan dalilnya [Q.S.]
“dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaamu dari istri yang telah kamu campuri”
             III.            Menyatukan dua wanita “muhrim” sebagai istri
Seluruh mazhab sepakat dalam hal ini keharaman mengawini dua wanita bersaudara sekaligus berdasarkan firma Allah [Q.S.4:23]:
dan haram bagimu menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara
             IV.            Pernikahan beda agama
Semua mazhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin dengan orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci. Orang-orang yang termasuk kategori ini adalah orang-orang yang menyembah selain kepada Allah.
Keempat mazhab juga sepakat bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini wanita ahli kitab yaitu wanita-wanita Yahudi dan Nasrani, dan tidak sebaliknya.
Seluruh mazhab sepakat (kecuali Maliki) bahwa perkawinan yang di selenggarakan oleh orang-orang non-muslim adalah sah seluruhnya, selama perkawinan itu di selenggarakan dengan keyakinan yang mereka yakini. Kecuali Maliki bahwa perkawinan yang di selenggarakan orang-orang non-muslim tidak sah. Dalam hadist Nabi Saw di tegaskan:
“Barang siapa yang memeluk sutau agama suatu kaum, maka dia harus di kenai oleh hukum-hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin itu ...berlakukanlah atas mereka hukum-hukum yang mereka berlakukan atas diri mereka.”
5.      Mahar
Mahar adalah satu di antara hak istri yang di dasarkan atas kitabullah, sunah rasul dan ijma’ kaum muslimin. Mahar ada dua macam yaitu mahar musamma dan mahar mitsli.

1. Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam redaksi akad. Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar, tersebut karena adanya firman Allah [Q.S.4:20]
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali.”
Tetapi  mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Sementara  Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah 10 dirham. Kalau sutau akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar  mahar 10 dirham. Sedangkan Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah 3 dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurangbdari 3 dirham, kemudian terjadi percamouran, maka suami harus membayar 3 dirham, tetapi jika belim di campuri dia boleh memilih antara membayar 3 dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau menfaskh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.
2. Mahar Mitsli
Tentang mahar mitsli, ada beberapa situasi yang diberlakukan padanya yaitu:
a)      Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar mitsli. Kalau kemudian si istri ditalak sebelum di campuri, maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus di beri mut’ah.
Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa manakala salah satu di antara mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka di tetapkan bahwa si istri berhak atas mahar  mitsli secara penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku bila suami telah mencapuri istrinya.Sedangkan Maliki mengatakan bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah seorang di antara keduanya meningal dunia sebelum terjadi percampuran.
b)      Apabila akad di laksanakan dengan mahar yang tidak sah.
c)      Percampuran syubhat, para ulama mazhab sepakat mengharuskan di bayarkannya mahar mitsli. Yang dimaksud dengan mencapuri karena syubhat adalah mencampuri seorang wanita yang sebenarnya tidak berhak di campuri karena ketidak tahuan pelaku bahwasanya pasangannya itu tidak berhak di campuri. Dengan kata lain yang di sebut syubhat itu adalah terjadinya percampuran di luar pernikahan yang sah, disebabkan oleh suatu hal yang dimaafkan oleh syar’i yang melepaskannya dari hukuman had.
d)     Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa barang siapa yang memperkosa seorang wanita, maka dia harus membayar mahar mitsli, tetapi bila wanita itu bersedia melakukannya (denag rela), maka laki-laki itu tidak harus membayar mahar apapun.
e)      Apabila seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan syarat tanpa mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki akat tersebut hukunya sah, sedangkan Maliki mengatakan bahwa, akad tersebut harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran, tetapi apabila sudah terjadi percampuran, akad tersebut di nyatakan sah apabila dengan mahar mitsli.
Menurut Hanafi, mahar mitsli ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki mahar mitsli ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi’i menganalogikan istri dari anggota keluarga, yaitu istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan dan seterusnya. Bagi Hambali halim harus mahar mitsli dengan menganalogikan dengan wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi.
3. Syarat Mahar
                            Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta      perdagangan atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa akadnya tidak sah dan di faskh sebelum terjadi percampuran, tetapi bila telah di campuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsli. Maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi percampuran akadnya tidak sah. Tetapi bila telah terjadi percampuran maka akadnya dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar mitsli. Sementara itu, Syafi’i, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar mitsli.

           

No comments:

Post a Comment