1. Pengartian Thaharah
Disini kita akan membahas masalah thaharah, dimana thaharah atau bersuci ini menduduki masalah penting dalam islam, baik secara hakiki maupun secara hukmi. Secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat solat dari najis. Sedangkan secara hukmi maksudnya adalah sucinya whudu’ kita dari hadast atau sucinya diri kita dari kondisi janabah. Sebab hal itu merupakan syarat abadi untuk bisa melakukan beragam ritual peribadatan dalam islam.
Adapun pengertian secara bahasa, thaharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan secra istilah adlah kebersihan dari sesutau yang khusus yang di dalamnya terkandung makna ta’abud kepada Allah.
Begitu juga dengan hadast dan janabah, meski secara fisik tidak berbentuk benda yang najis terlihat.\, namun secara hukum bisa dianggap sebagai salah satu bentuk ketidaksucian. Karena najis dan janbah termasuk najis maknawi yang wajib disucikan manakala seorang hamba akan menghadap kepada tuhannya secra formal. Maka kesucian dari hadast dan janabah merupakan kesucian ruhiyah.
Dalam Al-qur’an allah sangat memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian seperti yang terdapat dalam surat al-baqarah:222 yang artinya “ Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang taubat dan orang-orang yang membersihkan diri”. Dan Q.S. At-Taubah:108 “Ddalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri”.
Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa mnejadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusian dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun batin. Sebagaimana sabda rasulullah saw kepada jamaah dari sahabatnya: “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji” (HR. Ahmad).
2. Macam-macam Air
Berkenaan dengan air yang digunakan sebagai media bersuci, para ulama membaginya menjadi 3 macam, yaitu:
a. Air yang suci dan menyucikan
Air jenis ini bisa dipakai untuk bersuci, seperti air sumur, laut, sungai, hujan dan mata air maka bolh dipsksi intuk bersuci. Ada air yang suci mensucikan tapi makruh apabila dipakai seperti:
Air yang seperti ini dzatnya suci, tetapi tidak sah apabila dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk bagian ini ada 3 macam, yaitu:
Air yang tercampur dengan najis terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a) Mukhoffafah (najis ringan)
Seperti najis kencingnya anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya (selain obat) dan umurnya belum genap 2 tahun. Maka cara menyucikannya cukup dipercikkan air sampai rata.
b) Mutawasithoh (najis sedang)
Yaitu semua najis selain yang tersebut di atas, dan najis ini di bagi menjadi 2 macam:
Seperti najisnya babi atau anjing atau anak dari salah satu diantaranya, dalam keadaan basah atau kering, maka cara membasuhnya dengan terlebih dahulu menghilangkan bekasnya lalu dibasuh dengan air 7 kali dan debu (bisa air dulu 5 kali, lalu debu, lalu air lagi 1 kali atau air dicampur dengan debu dan dibasuh 7 kali).
4. Benda-benda najis
a) Anjing : najis, kecuali Mazhab Maliki yang berkata: bejana yang di basuh 7 kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali berkata: bejana yang terkena jilatan anjing meski di basuh sebanyak 7 kali, satu kali di antaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: bejana yang di jilat anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan 2 kali dengan air.
b) Babi: Semua mazhab berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan membasuh bejana yang terkena babi sebanyak 7 kali dengan air. Begitu uga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).
c) Bangkai: Semua mazhab sepakat bahwa bangkai bintang darat selain manusia adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan suci. Hanafi berpendapat bahwa bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat menyucikannya dengan mandi.
d) Darah: Semua mazhab sepakat darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tetinggi).
e) Mani: Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak adam adalah suci, begitu juga dengan semua binatang selain anjing dan babi. Hambali berpendapat mani anak adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci, tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.
f) Nanah: Keempat mazhab sepakat bahwa nanah adalah hukumnya najis.
g) Kencing: Semua mazhab sepakat Air kencing dan kotoran anak adam adalah najis.
h) Sisa binatang: Ada 2 kelompok binatang, yaitu terbang dan tidak terbang, dan masing-masingnya dibagi 2 juga yaitu yang dagingnya dimakan dan tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan misalnya serigala dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis, kotoran kuda, bagal dan lembu semua najis.
Hanafi berkata: sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci, jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis.
Hambali dan Syafi’i berkata: sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci, sedangkan sisa-sisa binatang yang darah dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak.
i) Benda cair yang memabukkan: adalah najis menurut semua mazhab , tetapi imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak upaya menjadikan benda benda yang memabukkan yang cair di ubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, yang padahal hukumnya tetap najis.
j) Muntah: hukumya najis menurut empat mazhab.
k) Madzi dan wadzi: keduanya najis menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis. Madzi adalah yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing atau dalam kondisi capek.
5. Wudhu
1) Hal-hal yang mewajibkan dan membatalkan wudhu
Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (qubul dan dubur) para ulama sepakat bahwa semua yang keluar dari 2 jalan (qubul dan dubul) dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah maka ia dapat membatalkan wudhu, Menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Tetapi menurut Maliki tidak samai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh dalam perut, tetapi kalau tidak tumbuh di dalam perut seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu itu keluar dari anus, maka itu dapat membatalkan wudhu.
Adapun terkena madzi dan wadzi menurut empat mazhab ia dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut imamiyah tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki membarikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi, orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.
Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan atau naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama ia dapat membatalkan wudhu. Tapi kalu masalaha tidur Hambali berpendapat bahwa kalau hati, pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi selama ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang disekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur itu dalam keadaan duduk, telentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Hanafi: kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan telentang atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadu batal. Tetapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur saat solat dan keadaanya tetap seperti posisi solat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
Mani dapat membatalkan wudhu menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Tetapi menurut Syafi’i ia tidak dapat membatalkan wudhu.
Menyentuh lawan jenis Syafi’i: kalau orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalu bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.
Hanafi: wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan reaksi pada kemaluan. Atau dengan kata lain menyentuhnya dengan diiringi syahwat.
Syafi’i dan Hambali menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secra mutlak, baik sentuhan denngan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki ada hadis yang dirwayatkan oleh mereka yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan, yakni apabila menyentuh dengan telapak bagian depan maka membatalkan wudhu dan tidak membatalkan apabila dengan bagian punggung tangan, (Al-bidayah wa al-nihayah, karya ibnu rusyd, dalam pembahasan nawaqibul wudhu).
Muntah menurut Hambali dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tetapi menurut Hanafi dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut, sedangkan menurut Syafi’i dan Maliki tidak membatalkan wudhu.
Darah dan nanah menurut Syafi’i dan Maliki ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi dapat membatalkan wudhu jika mengalir dari tempat keluarnya. Hambali ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah itu keluar banyak.
Tertawa itu dapat membataklan sholat menurut kesepakatan semua kaum muslimin, tetapi tidak membatalkan wudhunya ketika sholat, maupun diluarnya kecuali Hanafi. Menurut Hanafi dapat membatalkan wudhu kalau tertawanya sampai terbahak-bahak di dalam sholat, tetapi diluar sholat tidak membatalkan whudu.
Daging unta dapat membatalkan whudu, jika orang yang mempunyai whudu itu memakan daging unta, pendapat ini hanya menurut Hambali saja.
Darah haid. Al-Hilli dalam bukunya Al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah satu ulama besar ahli fiqih dari kalangan imamiyah: darah haid itu kalau sakit ia wajib berwhudu, sedangkan menurut Maliki bagi orang yang tidak di wajibkan berwhudu.
2) Fardhu-fardhu wudhu
Empat mazhab bahwa yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari-jemari adalah lebih utama.
Syafi’i wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit, tetapi cukup dengan membasahi atau mneyirami sebagi pengganti dari mengusap. Empat mazhab wajib mengusap dengan air baru. Kalau mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki boleh kalu ada udzur tetapi bila tidak, tidak boleh.
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengakkan solat, maka basuhla muka-muka kamu, kedua tangan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”
Empat mazhab boleh mengusap sepatu dak kaus kaki sebagai pengganti dari membasuk dua kaki.
Hanafi dan Maliki: tidak wajib tertib, dan boleh di mulai dari dua kaki dan berakhir di muka.
Hambali: wajib muwalat, sedangkan Hanafi dan Syafi’i tidak wajib muwalat, hanya di makhruhkan memisahkan dalam membasuh antara anggota-anggota wudhu itu kalau tidak ada udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu.
Maliki: muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang di anggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang di bangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama.
6. Mandi wajib
Macam-macam mandi wajib yaitu: junub, haid, nifas dan orang yang meninggal dunia.
Keempat hal ini telah di sepakati semua ulama mazhab. Hambali: menambah satu hal lagi, yait: ketika orang kafir memeluk agama islam. Syafi’i: kalau orang kafir itu masuk islam dalm keadaan junub, maka ia wajib mandi karena junubnya, bukan islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak wajib mandi. Hanafi: ia tidak di wajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-mughni, jilid 1, hal.207).
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu ada 4, menurut Hanafi dan Syafi’i: dan menurut Hambali dan Maliki ada 5.
1) Mandi junub
Junub mewajibkan mandi itu ada 2, yaitu:
(masalah) kalau orang sudah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi wajib mandi, Syafi’i dan Imamiyah: tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadast meragukan.
Hambali: kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berfikir tentang yang porno) maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.
Hanafi: wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat, yaitu: pertama baligh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanyalah yang baligh saja. Dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak di wajibkan mandi. Kedua , harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapt mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang di setubuhi adalah orang yang masih hidup, maka kalau ia memasikan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal maka ia tidak diwajibkan mandi.
Syafi’i: sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkan mandi, tak ada bedanya, baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang di setubuhi ada batas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang di setubuhi masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Hambali dan Maliki: bagi yang menyetubuhi maupun yang di setubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya, baik pada hewan ataupun pada manusia, baik yang di setubuhi itu hidup atau meninggal.
Kalau yang telah baligh, Maliki: bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi, kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang di setubuhi. Bagi orang yang di setubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya telah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau beum sampai keluar mani.
Hambali: mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari 10 tahun, bagi wanita yang di setubuhi itu tidak kurang dari 9 tahun.
2) Sesuatu yang mewajibkan mandi junub
Sesuatu yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti sholat, tawaf dan menyentuh al-qur’an, lebih dari itu yaitu berdiam di mesjid. Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi irang yang junub tudak boleh berdiam di mesjid. Hanya berbeda pendapat boleh tidak nya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya.
Maliki dan Hanafi: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting). Syafi’i dan Hambali: boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam, pendapat ini berdasarkan keterangan ayat 43 surat an-nisa:
“(jagan pula)hampiri mesjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja”.
Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati mesjid-mesjid yang di jafikan tempat solat, kecuali ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yakni masjidil haram dan masjid nabaw, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian).
Sedangkan membaca al-qur’an, Maliki: bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari al-qur’an, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampis sama dengan Hambali.
Hanafi: bagi orang yang junub tidak boleh membacanya,kecuali dia menjadi guru mengaji yang menyampaikannya (mentalqin;mengajarkannya) kata perkata.
Syafi'i: bahkan satu hrufpun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hnaya untuk dzikir (mengingat) seperti menyebutnya pada saat makan.
3) Hal-hal yang wajib dalam mandi junub
Dalam mandi junub di wajibkan apa yang di wajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke-mutlakan air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, serta tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam bab wudhu, diwajibkan juga berniat, kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya hanafi tidak menganggap niat sebagai syarat sah mandi.
Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan, mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau sebaliknya.
Hanafi: menjelaskan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan. Mereka (hanafi): sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, lalu tubuh sebelah kiri. Syafi’i dan Maliki: di sunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). Ia (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain. Hambali: di sunahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
7. Tayamum
Hanafi: orang yng bukan dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak pula solat kalau tidak ada air. Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8 surat al-maidah:
“...bila kamu sakit atau dalam perjalanan, atau salah satu di antara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban, atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air maka bertayamumlah...”
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk bertayamum selama orang itu bukan musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan solat, karea ia tidak suci. Dan solat hanya diwajibkan bagi orang yang suci.
Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayamum dan sholat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan, sakit maupun sehat berdasarkan hadist yang mutawatir :
“Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang islam, seklaupun tidak mendapatkan air selma 10 tahun.”
Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya (musafir) dalam ayat tersebut karena kebiasaan, sebab biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan air.
Kalau betul apa yang dikatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan orang yang sakit, yang ke duanya tetap diwajibkan sholat, sedangkan orang-orag yang bukan musafir dan sehta tidak diwajibkan sholat; (mengapa mesti terbalik logikanya?).
Syafi’i dan Hambali: kalau mendapatkan air tetapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pas sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayamum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayamuminya.
Mazhab-mazhab yang lain: adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak diwajibkan selian bertayamum.
Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu diperdebatkan secara panjang lebar, karen apada saat ini air telah mencukupi bagi setiap manusia, dimana saja, baik bagi orang yang musafir maupu yang mukim. Para ahli fiqih memebahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalu ia khawatir pada dirinya, hartanya atau kehormatannya dari pencuri atau binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berta untuk mendapatkan air.
Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa tayamum itu membilehkan, bukan menghilangkan (hadast). Bagi orang yang bertayamum hendaknya beniat agar dibolehkan melakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci dengannya, bukan berniat untuk menghilangkan hadast. Tetapi sebagian imamiyah mengatakan bahwa boleh berniat menghilangkan, dengan catatn ia mengetahui kalau tayamum itu tidak menghilangkan hadast, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadast terdapat kelaziman arti dari niat kebolehannya (istibahah).
Sebaik-baiknya cara untuk mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah orang yang bertayamum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada allah dengan mengikuti perintah-Nya yang berhubungan dengan masalah tayamum ini, baik ketika memulainya, maupun lahir dari perintah sholat dan semacamnya dari beberapa tujuan tayamum.
Sebagaimana mereka (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang sha’id, mereka juga berbeda pendapat tentang maksud tentang mengusap wajah dan kedua tangan yang di jelaskan dalam ayat Al-Qur’an.
Empat mazhab: yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalmnya termasuk janggut dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai pada kedua siku-siku. Itulah batas tayamum sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menepuk dengan dua kali tepukan, yang pertama untuk mnegusap wajah dan yang kedua untuk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jaru-jari sampai kedua siku-siku.
Maliki dan Hambali: bahwa mnegusap kedua tangan itu hanya sampai pada pergelangan tangan dan sampai disitulah yang diwajibkannya, sedangkan sampai kedua siku-siku adalah sunnah.
Hanafi: kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya padanya (wajahnya) dan mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai pengganti dari memukulkannya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sucinya anggota tayamum itu adalah merupakan syarat sahnya tayamum baik yang di usapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan tayamum itu harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayamum wajib mencopot (menaggalkan) cicinya ketika bertayamum, dan tidak cukup hanya menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu.
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang muwalat (berturut-turut).
Maliki: wajib berturut atar bagian-bagian anggota tayamum itu.
Hambali: wajib berturut=turut kalu bertayamum untuk menghilangkan hadast kecil, tetapi klau untuk menghilangkan hadast besar tidak wajib berturut-turut.
Syafi’i: hanya wajib tertib saja, buakn berturut-turut. Hanafi: tidak diwajibkan berturut-turut dan tidak diwajibkan pula tertib.
8. Haid
Haid secara bahasa berarti: mengalir, sedangkan secra teminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berati: darah yang biasa keluar pada diri wanita pada hari-hari tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan mejadi patokan selesainya ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Biasanya darahnya warna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tapi kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haid sesuai dengan makanan yang wanita itu makan.
a. Usia wanita haid
Semua ulama mazhab sepakat bahwa wanita itu tidak akan haid kalau belum usia 9 tahun, maka kalau datang sebelum usia tersebut, semua sepakat bahwa itu darah penyakit. Begitu juga darah yang keluar pada wanita yang berusia lanjut. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas usia lanjut yang haidnya telah berhenti.
Hanafi dan Hambali: 50 tahun, Maliki: 70 tahun, Syafi’i: selama masih hidup haid itu masih mungkin, sekalipun biasanya berhenti setelah berusia 62 tahun.
b. Lamanya waktu haid
Hanafi: paling sediktnya haid itu 3 hari dan paling banyak 10 hari. Dan darah itu tidak keluar terus-menerus selama 3 hari, atau darah yang keluar lebih dari 10 hari, maka itu bukan darah haid.
Hambali dan Syafi’i: paling sedikitnya satu hari satu malam, dan paling banyaknya 15 hari.
Maliki: paling bayaknya 15 hari bagi wanita yang tidak hamil, sedangkan sedikitnya tidak ada batas.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa haid itu tidak ada batas masa sucinya, yang dipisah dengan dua kali haid. Sedangkan, paling sedikitnya 13 hari. Menurut Hanafi, Syafi;i dan Maliki paling sedkitnya 15 hari.
Ulama mazhab berbeda pendapat terjadinya haid dengan hamil secara bersamaan. Apakah kalau ia sudah nampak hamil masih bisa haid?
Syafi’i dan Maliki: haid dan hamil masih bisa bersamaan. Hanafi dan Hambali: tidak bisa berkumpul secara bersamaan.
c. Hukum-hukum haid
Bagi wanita haid yang diharamkan semua yang diharamkan pada orang yang junub, baik menyentuh al-qur’an dan berdiam dalam mesjid. Pada hari-hari haid diharamkan berpuasa dan sholat, hanya ia wajib menggantinya (mengqhada) hari-hari puasa ramadhan yang di tinggalkannya, tetapi kalu sholat tidak usah diganti, karena berdasarkan beberapa hadis dan demi menjaga (terhindar) kesukaran karena banyaknya mengulang-ulang sholat, tapi kalu puasa tidak. Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tetapi kalu telah terjadi, maka sah talaknya, hanya menurut empat mazhab orang yang mentalaknya itu berdosa, sedangkan menurut imamiyah talaknya itu kalau suami itu telah menyetubuhinya, atau suaminya masih berada di sisinya, atau istri itu masih belum hamil. Dan sah mentalak istri yang sedang haid , istri yang sedang hamil dan belum disetubuhi serta wanita yang sedang ditinggal suaminya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa mandi haid tidak cukup tanpa wudhu, karena wudhunya wanita haid dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadast.
Mereka juga sepkat untuk mengharamkan menyetubuhi wanita pada hari-hari haid. Sedangan kalau menikmatinya di antara lutut dan pusar, menurut Hambali: boleh secara mutlak, baik dengan aling-aling maupun tidak.
Pendapat Maliki yang terkenal adalah tidak boleh walau ada aling-aling (batas). Hanafi dan Syafi’i: diharamkan kalau tanpa aling-aling, tetapi bila dengan aling-aling boleh.
d. Cara-cara mandi
Mandi haid sama dengan mandi junub, baik dari segi airnya, ia wajib air mutlak, dari sucinya, wajib suci badannya dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, mulai dari kepala, kemudian dari bagian tubuh yang kanan lalu bagian tubuh yang kiri, menurut imamiyah, dan cukup dengan menceburkan semua badannya sekaligus ke dalam air.
Empat mazhab: meratakan air ke semua badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan mandi junub, tanpa ada perbedaan.
9. Nifas
Maliki: darah nifas adalah darah yang di keluarkan dari rahim yang di sebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumya. Hambali: darah nifas adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, 2 atau 3 hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.
Syafi’i: darah yang keluar setelah persalinan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan.
Hanafi: darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakn darah nifas.
Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak ada nampak darah yang keluar, ia tetap diwajibkan mandi, ini menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Hambali tidak wajib mandi.
Semua ulam mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, menurut Hambali dan Hanafi: 40 hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki 60 hari.
Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena di sebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalh ‘iddah talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan ulama mazhab.
Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya sholat, puasa dan wajib mengqhada kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qhada untuk sholat yang di tinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh al-qur’an, berdiam di dalam mesjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau di talak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.
10. Istihadhah
Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan kalau ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darahnya itu berwarna kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid.
Empat mazhab: istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang di larang dalam haid, baik membaca al-qur’an, menyentuhnya, masuk masjid, beri’tikaf, berthawaf, bersetubuh dan lain-lainnya sepeerti yang di jelaskan dalam masalah-masalah yang di larang bagi orang yang berhadast besar.
Disini kita akan membahas masalah thaharah, dimana thaharah atau bersuci ini menduduki masalah penting dalam islam, baik secara hakiki maupun secara hukmi. Secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat solat dari najis. Sedangkan secara hukmi maksudnya adalah sucinya whudu’ kita dari hadast atau sucinya diri kita dari kondisi janabah. Sebab hal itu merupakan syarat abadi untuk bisa melakukan beragam ritual peribadatan dalam islam.
Adapun pengertian secara bahasa, thaharah berarti nazhafah (kebersihan). Sedangkan secra istilah adlah kebersihan dari sesutau yang khusus yang di dalamnya terkandung makna ta’abud kepada Allah.
Begitu juga dengan hadast dan janabah, meski secara fisik tidak berbentuk benda yang najis terlihat.\, namun secara hukum bisa dianggap sebagai salah satu bentuk ketidaksucian. Karena najis dan janbah termasuk najis maknawi yang wajib disucikan manakala seorang hamba akan menghadap kepada tuhannya secra formal. Maka kesucian dari hadast dan janabah merupakan kesucian ruhiyah.
Dalam Al-qur’an allah sangat memuji orang-orang yang selalu menjaga kesucian seperti yang terdapat dalam surat al-baqarah:222 yang artinya “ Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang taubat dan orang-orang yang membersihkan diri”. Dan Q.S. At-Taubah:108 “Ddalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri”.
Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa mnejadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusian dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun batin. Sebagaimana sabda rasulullah saw kepada jamaah dari sahabatnya: “Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan keji” (HR. Ahmad).
2. Macam-macam Air
Berkenaan dengan air yang digunakan sebagai media bersuci, para ulama membaginya menjadi 3 macam, yaitu:
a. Air yang suci dan menyucikan
Air jenis ini bisa dipakai untuk bersuci, seperti air sumur, laut, sungai, hujan dan mata air maka bolh dipsksi intuk bersuci. Ada air yang suci mensucikan tapi makruh apabila dipakai seperti:
- Air yang dipanaskan dengan matahari atau dengan alat pemanas dengan syarat memakai tempat yang terbuat dari besi, selain itu tidak seperti emas, perak dan tanah liat.
- Air yang terlalu panas.
- Air yang terlalu dingin.
Air yang seperti ini dzatnya suci, tetapi tidak sah apabila dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk bagian ini ada 3 macam, yaitu:
- Air yang musta’mal, yaitu air yang sedikit (kurang dari 2 kulah) yang sudah dipakai untuk bersuci, baik dari hadas maupun najis.
- Air yang telah tercampur dengan sesuatu yang suci dan telah merubah salah satu sifatnya, sepeti kopi, teh, susu dan lainnya, tapi kalau air yang tercampur minyak wangi atau kapur yang dipakai untuk bak mandi maka hukumnya boleh dipakai dengan syarat tercampurnya sedikit sehinngatidak merubah nama air.
- Air yang berasal dari pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air kelapa, air nira adan sebagainya.
Air yang tercampur dengan najis terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
- Air yang sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis, air ini tidak boleh dipakai baik jumlahnya sedikit (kurang dari 2 kulah) maupun bnayak (lebih dari 2 kulah).
- Air yang kejatuhan/bercampur najis tetapi najis tersebut tidak sampai merubah salah satu sifat air tersebut. Air jenis ini apabila jumlah nya sedikit (kurang dari 2 kulah) maka tidak boleh dipakai, karena hukumnya najis. Tetapi jika airnya banyak, maka hukumnya tetap suci menyucikan. Seperti air bak yang kejatuhan bangkai cicak dan lain-lain.
a) Mukhoffafah (najis ringan)
Seperti najis kencingnya anak bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya (selain obat) dan umurnya belum genap 2 tahun. Maka cara menyucikannya cukup dipercikkan air sampai rata.
b) Mutawasithoh (najis sedang)
Yaitu semua najis selain yang tersebut di atas, dan najis ini di bagi menjadi 2 macam:
- Najis yang ada aniyahnya (bekas) yang mempunyai warna, bau atau rasa, maka cara menyucikannya harus dihilangkan bekasnya lalu disiram dengan air secara merata.
- Najis yang tidak berbekas (hukmiyah) yaitu tidak ada warna, bau atau rasa, maka cara menyucikannya cukup dengan menyiramya dengan air secara merata.
Seperti najisnya babi atau anjing atau anak dari salah satu diantaranya, dalam keadaan basah atau kering, maka cara membasuhnya dengan terlebih dahulu menghilangkan bekasnya lalu dibasuh dengan air 7 kali dan debu (bisa air dulu 5 kali, lalu debu, lalu air lagi 1 kali atau air dicampur dengan debu dan dibasuh 7 kali).
4. Benda-benda najis
a) Anjing : najis, kecuali Mazhab Maliki yang berkata: bejana yang di basuh 7 kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadat). Syafi’i dan Hambali berkata: bejana yang terkena jilatan anjing meski di basuh sebanyak 7 kali, satu kali di antaranya dengan tanah. Imamiyah berkata: bejana yang di jilat anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan 2 kali dengan air.
b) Babi: Semua mazhab berpendapat bahwa hukumnya sama seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan membasuh bejana yang terkena babi sebanyak 7 kali dengan air. Begitu uga hukumnya dengan bangkai tikus darat (yang besar).
c) Bangkai: Semua mazhab sepakat bahwa bangkai bintang darat selain manusia adalah najis jika pada binatang itu keluar darah yang mengalir. Adapun bangkai manusia Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan suci. Hanafi berpendapat bahwa bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat menyucikannya dengan mandi.
d) Darah: Semua mazhab sepakat darah adalah najis kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu juga dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan darah kepinding (tetinggi).
e) Mani: Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mani anak adam adalah suci, begitu juga dengan semua binatang selain anjing dan babi. Hambali berpendapat mani anak adam dan mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci, tetapi mani binatang yang dagingnya tidak dimakan adalah najis.
f) Nanah: Keempat mazhab sepakat bahwa nanah adalah hukumnya najis.
g) Kencing: Semua mazhab sepakat Air kencing dan kotoran anak adam adalah najis.
h) Sisa binatang: Ada 2 kelompok binatang, yaitu terbang dan tidak terbang, dan masing-masingnya dibagi 2 juga yaitu yang dagingnya dimakan dan tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan misalnya serigala dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut. Syafi’i berkata: semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis, kotoran kuda, bagal dan lembu semua najis.
Hanafi berkata: sisa-sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci, jika buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis.
Hambali dan Syafi’i berkata: sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci, sedangkan sisa-sisa binatang yang darah dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang terbang maupun tidak.
i) Benda cair yang memabukkan: adalah najis menurut semua mazhab , tetapi imamiyah menambahkan satu ketentuan, bahwa benda cair tersebut asalnya cair. Hal ini dimaksudkan agar tidak upaya menjadikan benda benda yang memabukkan yang cair di ubah menjadi beku untuk menghindari hukum najisnya, yang padahal hukumnya tetap najis.
j) Muntah: hukumya najis menurut empat mazhab.
k) Madzi dan wadzi: keduanya najis menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Hambali berpendapat madzi suci sedangkan wadzi najis. Madzi adalah yang keluar dari lubang depan ketika ada rangsangan seksual dan wadzi adalah air amis yang keluar setelah kencing atau dalam kondisi capek.
5. Wudhu
1) Hal-hal yang mewajibkan dan membatalkan wudhu
Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (qubul dan dubur) para ulama sepakat bahwa semua yang keluar dari 2 jalan (qubul dan dubul) dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah maka ia dapat membatalkan wudhu, Menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Tetapi menurut Maliki tidak samai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh dalam perut, tetapi kalau tidak tumbuh di dalam perut seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, lalu batu itu keluar dari anus, maka itu dapat membatalkan wudhu.
Adapun terkena madzi dan wadzi menurut empat mazhab ia dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut imamiyah tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki membarikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi, orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.
Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan atau naik pitam, maka menurut kesepakatan semua ulama ia dapat membatalkan wudhu. Tapi kalu masalaha tidur Hambali berpendapat bahwa kalau hati, pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi selama ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang disekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur itu dalam keadaan duduk, telentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Hanafi: kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan telentang atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadu batal. Tetapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur saat solat dan keadaanya tetap seperti posisi solat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
Mani dapat membatalkan wudhu menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Tetapi menurut Syafi’i ia tidak dapat membatalkan wudhu.
Menyentuh lawan jenis Syafi’i: kalau orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalu bukan wanita lain, seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.
Hanafi: wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan reaksi pada kemaluan. Atau dengan kata lain menyentuhnya dengan diiringi syahwat.
Syafi’i dan Hambali menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secra mutlak, baik sentuhan denngan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki ada hadis yang dirwayatkan oleh mereka yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan, yakni apabila menyentuh dengan telapak bagian depan maka membatalkan wudhu dan tidak membatalkan apabila dengan bagian punggung tangan, (Al-bidayah wa al-nihayah, karya ibnu rusyd, dalam pembahasan nawaqibul wudhu).
Muntah menurut Hambali dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tetapi menurut Hanafi dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut, sedangkan menurut Syafi’i dan Maliki tidak membatalkan wudhu.
Darah dan nanah menurut Syafi’i dan Maliki ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi dapat membatalkan wudhu jika mengalir dari tempat keluarnya. Hambali ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah itu keluar banyak.
Tertawa itu dapat membataklan sholat menurut kesepakatan semua kaum muslimin, tetapi tidak membatalkan wudhunya ketika sholat, maupun diluarnya kecuali Hanafi. Menurut Hanafi dapat membatalkan wudhu kalau tertawanya sampai terbahak-bahak di dalam sholat, tetapi diluar sholat tidak membatalkan whudu.
Daging unta dapat membatalkan whudu, jika orang yang mempunyai whudu itu memakan daging unta, pendapat ini hanya menurut Hambali saja.
Darah haid. Al-Hilli dalam bukunya Al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah satu ulama besar ahli fiqih dari kalangan imamiyah: darah haid itu kalau sakit ia wajib berwhudu, sedangkan menurut Maliki bagi orang yang tidak di wajibkan berwhudu.
2) Fardhu-fardhu wudhu
- Niat
- Membasuh muka
- Membasuh dua tangan
Empat mazhab bahwa yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari-jemari adalah lebih utama.
- Mengusap kepala
Syafi’i wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit, tetapi cukup dengan membasahi atau mneyirami sebagi pengganti dari mengusap. Empat mazhab wajib mengusap dengan air baru. Kalau mengusap surban, maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di bawah dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki boleh kalu ada udzur tetapi bila tidak, tidak boleh.
- Dua kaki
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengakkan solat, maka basuhla muka-muka kamu, kedua tangan kamu sampai siku-siku, dan usaplah kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”
Empat mazhab boleh mengusap sepatu dak kaus kaki sebagai pengganti dari membasuk dua kaki.
- Tertib
Hanafi dan Maliki: tidak wajib tertib, dan boleh di mulai dari dua kaki dan berakhir di muka.
- Muwalat
Hambali: wajib muwalat, sedangkan Hanafi dan Syafi’i tidak wajib muwalat, hanya di makhruhkan memisahkan dalam membasuh antara anggota-anggota wudhu itu kalau tidak ada udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu.
Maliki: muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang di anggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang di bangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama.
- Ad-Dalk
6. Mandi wajib
Macam-macam mandi wajib yaitu: junub, haid, nifas dan orang yang meninggal dunia.
Keempat hal ini telah di sepakati semua ulama mazhab. Hambali: menambah satu hal lagi, yait: ketika orang kafir memeluk agama islam. Syafi’i: kalau orang kafir itu masuk islam dalm keadaan junub, maka ia wajib mandi karena junubnya, bukan islamnya. Dari itu, kalau pada waktu masuk islam ia tidak dalam keadaan junub, ia tidak wajib mandi. Hanafi: ia tidak di wajibkan mandi, baik junub maupun tidak (Ibnu Qudamah, Al-mughni, jilid 1, hal.207).
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa jumlah mandi wajib itu ada 4, menurut Hanafi dan Syafi’i: dan menurut Hambali dan Maliki ada 5.
1) Mandi junub
Junub mewajibkan mandi itu ada 2, yaitu:
- Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun.
(masalah) kalau orang sudah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani atau madzi. Hanafi wajib mandi, Syafi’i dan Imamiyah: tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadast meragukan.
Hambali: kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berfikir tentang yang porno) maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas itu.
- Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh).
Hanafi: wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat, yaitu: pertama baligh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanyalah yang baligh saja. Dan kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak di wajibkan mandi. Kedua , harus tidak ada batas (aling-aling) yang dapt mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang di setubuhi adalah orang yang masih hidup, maka kalau ia memasikan zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal maka ia tidak diwajibkan mandi.
Syafi’i: sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkan mandi, tak ada bedanya, baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang di setubuhi ada batas (aling-aling) maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang di setubuhi masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Hambali dan Maliki: bagi yang menyetubuhi maupun yang di setubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas (aling-aling) yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya, baik pada hewan ataupun pada manusia, baik yang di setubuhi itu hidup atau meninggal.
Kalau yang telah baligh, Maliki: bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi, kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang di setubuhi. Bagi orang yang di setubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya telah baligh, tapi kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau beum sampai keluar mani.
Hambali: mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari 10 tahun, bagi wanita yang di setubuhi itu tidak kurang dari 9 tahun.
2) Sesuatu yang mewajibkan mandi junub
Sesuatu yang mewajibkan wudhu pada dasarnya mewajibkan mandi junub, seperti sholat, tawaf dan menyentuh al-qur’an, lebih dari itu yaitu berdiam di mesjid. Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi irang yang junub tudak boleh berdiam di mesjid. Hanya berbeda pendapat boleh tidak nya kalau ia lewat di dalamnya, sebagaimana kalau ia masuk dari satu pintu ke pintu lainnya.
Maliki dan Hanafi: tidak boleh kecuali karena sangat darurat (penting). Syafi’i dan Hambali: boleh kalau hanya lewat saja, asal jangan berdiam, pendapat ini berdasarkan keterangan ayat 43 surat an-nisa:
“(jagan pula)hampiri mesjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja”.
Maksud ayat tersebut di atas, dilarang mendekati mesjid-mesjid yang di jafikan tempat solat, kecuali ia hanya melewatinya saja. Ayat tersebut mengecualikan dua masjid, yakni masjidil haram dan masjid nabaw, karena ada dalil khusus yang menunjukkannya berbeda (pengecualian).
Sedangkan membaca al-qur’an, Maliki: bagi orang yang junub diharamkan membaca sesuatu yang dari al-qur’an, kecuali sebentar dengan maksud untuk memelihara (menjaga) dan menjadikannya sebagai dalil (bukti). Pendapat ini hampis sama dengan Hambali.
Hanafi: bagi orang yang junub tidak boleh membacanya,kecuali dia menjadi guru mengaji yang menyampaikannya (mentalqin;mengajarkannya) kata perkata.
Syafi'i: bahkan satu hrufpun bagi orang yang junub tetap diharamkan, kecuali hnaya untuk dzikir (mengingat) seperti menyebutnya pada saat makan.
3) Hal-hal yang wajib dalam mandi junub
Dalam mandi junub di wajibkan apa yang di wajibkan dalam wudhu, baik dari segi ke-mutlakan air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, serta tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya ke kulit, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam bab wudhu, diwajibkan juga berniat, kecuali Hanafi yang menolak niat ini. Alasannya hanafi tidak menganggap niat sebagai syarat sah mandi.
Empat mazhab tidak mewajibkan dalam mandi junub itu dengan cara-cara khusus, hanya mereka mewajibkan untuk meratakan air ke seluruh badan, mereka tidak menjelaskan apakah harus dari atas atau sebaliknya.
Hanafi: menjelaskan ia harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan. Mereka (hanafi): sunnah bila pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, lalu tubuh sebelah kiri. Syafi’i dan Maliki: di sunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan). Ia (faraj) disunnahkan lebih dahulu dari semua anggota badan yang lain. Hambali: di sunahkan mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
7. Tayamum
- Tayamum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang dipergunakannya, cara-cara khusus dan hukum-hukum yang berlaku.Sebab-sebab tayamum
Hanafi: orang yng bukan dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak pula solat kalau tidak ada air. Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8 surat al-maidah:
“...bila kamu sakit atau dalam perjalanan, atau salah satu di antara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban, atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air maka bertayamumlah...”
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk bertayamum selama orang itu bukan musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan solat, karea ia tidak suci. Dan solat hanya diwajibkan bagi orang yang suci.
Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayamum dan sholat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan, sakit maupun sehat berdasarkan hadist yang mutawatir :
“Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang islam, seklaupun tidak mendapatkan air selma 10 tahun.”
Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya (musafir) dalam ayat tersebut karena kebiasaan, sebab biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan air.
Kalau betul apa yang dikatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan orang yang sakit, yang ke duanya tetap diwajibkan sholat, sedangkan orang-orag yang bukan musafir dan sehta tidak diwajibkan sholat; (mengapa mesti terbalik logikanya?).
Syafi’i dan Hambali: kalau mendapatkan air tetapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pas sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayamum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayamuminya.
Mazhab-mazhab yang lain: adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak diwajibkan selian bertayamum.
Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu diperdebatkan secara panjang lebar, karen apada saat ini air telah mencukupi bagi setiap manusia, dimana saja, baik bagi orang yang musafir maupu yang mukim. Para ahli fiqih memebahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalu ia khawatir pada dirinya, hartanya atau kehormatannya dari pencuri atau binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berta untuk mendapatkan air.
- Cara-cara bertayamum
Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa tayamum itu membilehkan, bukan menghilangkan (hadast). Bagi orang yang bertayamum hendaknya beniat agar dibolehkan melakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci dengannya, bukan berniat untuk menghilangkan hadast. Tetapi sebagian imamiyah mengatakan bahwa boleh berniat menghilangkan, dengan catatn ia mengetahui kalau tayamum itu tidak menghilangkan hadast, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadast terdapat kelaziman arti dari niat kebolehannya (istibahah).
Sebaik-baiknya cara untuk mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah orang yang bertayamum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada allah dengan mengikuti perintah-Nya yang berhubungan dengan masalah tayamum ini, baik ketika memulainya, maupun lahir dari perintah sholat dan semacamnya dari beberapa tujuan tayamum.
Sebagaimana mereka (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang sha’id, mereka juga berbeda pendapat tentang maksud tentang mengusap wajah dan kedua tangan yang di jelaskan dalam ayat Al-Qur’an.
Empat mazhab: yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalmnya termasuk janggut dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai pada kedua siku-siku. Itulah batas tayamum sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menepuk dengan dua kali tepukan, yang pertama untuk mnegusap wajah dan yang kedua untuk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jaru-jari sampai kedua siku-siku.
Maliki dan Hambali: bahwa mnegusap kedua tangan itu hanya sampai pada pergelangan tangan dan sampai disitulah yang diwajibkannya, sedangkan sampai kedua siku-siku adalah sunnah.
Hanafi: kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya padanya (wajahnya) dan mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai pengganti dari memukulkannya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sucinya anggota tayamum itu adalah merupakan syarat sahnya tayamum baik yang di usapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan tayamum itu harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayamum wajib mencopot (menaggalkan) cicinya ketika bertayamum, dan tidak cukup hanya menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu.
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang muwalat (berturut-turut).
Maliki: wajib berturut atar bagian-bagian anggota tayamum itu.
Hambali: wajib berturut=turut kalu bertayamum untuk menghilangkan hadast kecil, tetapi klau untuk menghilangkan hadast besar tidak wajib berturut-turut.
Syafi’i: hanya wajib tertib saja, buakn berturut-turut. Hanafi: tidak diwajibkan berturut-turut dan tidak diwajibkan pula tertib.
8. Haid
Haid secara bahasa berarti: mengalir, sedangkan secra teminologis (istilah) menurut para ahli fiqih berati: darah yang biasa keluar pada diri wanita pada hari-hari tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan meninggalkan ibadah dan mejadi patokan selesainya ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Biasanya darahnya warna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tapi kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haid sesuai dengan makanan yang wanita itu makan.
a. Usia wanita haid
Semua ulama mazhab sepakat bahwa wanita itu tidak akan haid kalau belum usia 9 tahun, maka kalau datang sebelum usia tersebut, semua sepakat bahwa itu darah penyakit. Begitu juga darah yang keluar pada wanita yang berusia lanjut. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas usia lanjut yang haidnya telah berhenti.
Hanafi dan Hambali: 50 tahun, Maliki: 70 tahun, Syafi’i: selama masih hidup haid itu masih mungkin, sekalipun biasanya berhenti setelah berusia 62 tahun.
b. Lamanya waktu haid
Hanafi: paling sediktnya haid itu 3 hari dan paling banyak 10 hari. Dan darah itu tidak keluar terus-menerus selama 3 hari, atau darah yang keluar lebih dari 10 hari, maka itu bukan darah haid.
Hambali dan Syafi’i: paling sedikitnya satu hari satu malam, dan paling banyaknya 15 hari.
Maliki: paling bayaknya 15 hari bagi wanita yang tidak hamil, sedangkan sedikitnya tidak ada batas.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa haid itu tidak ada batas masa sucinya, yang dipisah dengan dua kali haid. Sedangkan, paling sedikitnya 13 hari. Menurut Hanafi, Syafi;i dan Maliki paling sedkitnya 15 hari.
Ulama mazhab berbeda pendapat terjadinya haid dengan hamil secara bersamaan. Apakah kalau ia sudah nampak hamil masih bisa haid?
Syafi’i dan Maliki: haid dan hamil masih bisa bersamaan. Hanafi dan Hambali: tidak bisa berkumpul secara bersamaan.
c. Hukum-hukum haid
Bagi wanita haid yang diharamkan semua yang diharamkan pada orang yang junub, baik menyentuh al-qur’an dan berdiam dalam mesjid. Pada hari-hari haid diharamkan berpuasa dan sholat, hanya ia wajib menggantinya (mengqhada) hari-hari puasa ramadhan yang di tinggalkannya, tetapi kalu sholat tidak usah diganti, karena berdasarkan beberapa hadis dan demi menjaga (terhindar) kesukaran karena banyaknya mengulang-ulang sholat, tapi kalu puasa tidak. Diharamkan pula mentalak istri yang sedang haid, tetapi kalu telah terjadi, maka sah talaknya, hanya menurut empat mazhab orang yang mentalaknya itu berdosa, sedangkan menurut imamiyah talaknya itu kalau suami itu telah menyetubuhinya, atau suaminya masih berada di sisinya, atau istri itu masih belum hamil. Dan sah mentalak istri yang sedang haid , istri yang sedang hamil dan belum disetubuhi serta wanita yang sedang ditinggal suaminya.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa mandi haid tidak cukup tanpa wudhu, karena wudhunya wanita haid dan mandinya tidak dapat menghilangkan hadast.
Mereka juga sepkat untuk mengharamkan menyetubuhi wanita pada hari-hari haid. Sedangan kalau menikmatinya di antara lutut dan pusar, menurut Hambali: boleh secara mutlak, baik dengan aling-aling maupun tidak.
Pendapat Maliki yang terkenal adalah tidak boleh walau ada aling-aling (batas). Hanafi dan Syafi’i: diharamkan kalau tanpa aling-aling, tetapi bila dengan aling-aling boleh.
d. Cara-cara mandi
Mandi haid sama dengan mandi junub, baik dari segi airnya, ia wajib air mutlak, dari sucinya, wajib suci badannya dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, mulai dari kepala, kemudian dari bagian tubuh yang kanan lalu bagian tubuh yang kiri, menurut imamiyah, dan cukup dengan menceburkan semua badannya sekaligus ke dalam air.
Empat mazhab: meratakan air ke semua badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan mandi junub, tanpa ada perbedaan.
9. Nifas
Maliki: darah nifas adalah darah yang di keluarkan dari rahim yang di sebabkan persalinan, baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin, bukan sebelumya. Hambali: darah nifas adalah darah yang keluar bersama keluarnya anak, baik sesudahnya maupun sebelumnya, 2 atau 3 hari dengan tanda-tanda akan melahirkan.
Syafi’i: darah yang keluar setelah persalinan, bukan sebelumnya dan bukan pula bersamaan.
Hanafi: darah yang keluar setelah melahirkan, atau yang keluar ketika sebagian besar tubuh anaknya sudah keluar. Sedangkan kalau darah itu sebelum melahirkan, atau darah yang keluar ketika tubuh anaknya baru sebagian kecil yang keluar, maka ia tidak dinamakn darah nifas.
Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi tidak ada nampak darah yang keluar, ia tetap diwajibkan mandi, ini menurut Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Tetapi menurut Hambali tidak wajib mandi.
Semua ulam mazhab sepakat bahwa darah nifas itu tidak mempunyai batas paling sedikitnya. Sedangkan paling banyak, menurut Hambali dan Hanafi: 40 hari, sedangkan Syafi’i dan Maliki 60 hari.
Kalau anak yang lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena di sebabkan pembedahan, maka wanita itu tidak bernifas, tetapi kalau masalh ‘iddah talak tetap berlaku setelah keluarnya anak itu, menurut kesepakatan ulama mazhab.
Hukum nifas adalah sama seperti hukum haid, baik dari segi tidak sahnya sholat, puasa dan wajib mengqhada kalau ia meninggalkan puasa, tetapi tidak wajib qhada untuk sholat yang di tinggalkan. Sama seperti haid, juga diharamkan disetubuhi dan menyetubuhi, menyentuh al-qur’an, berdiam di dalam mesjid atau memasukinya, tetapi dalam masalah terakhir ini ada perbedaan antara mazhab, juga tidak sah kalau di talak menurut Imamiyah serta hukum-hukum lainnya. Adapun cara-cara mandi dan syarat-syaratnya, sama persis seperti haid.
10. Istihadhah
Istihadhah menurut istilah para ahli fiqih adalah: darah yang keluar dari wanita bukan pada masa-masa haid dan nifas dan tidak ada kemungkinan kalau ia haid; misalnya darah yang melebihi masa haid atau darah yang kurang dari masa paling sedikitnya haid. Biasanya darahnya itu berwarna kuning, dingin, encer (tidak kental) dan keluarnya dengan lemah (tidak deras) yang pada dasarnya berbeda dengan darah haid.
Empat mazhab: istihadhah itu tidak mencegah (melarang) untuk melakukan sesuatu yang di larang dalam haid, baik membaca al-qur’an, menyentuhnya, masuk masjid, beri’tikaf, berthawaf, bersetubuh dan lain-lainnya sepeerti yang di jelaskan dalam masalah-masalah yang di larang bagi orang yang berhadast besar.
Alhamdulillah.
ReplyDeletesangat membantu sekali
ReplyDeleteMANTAP
ReplyDeleteSangat membantu sekali bagi kami orang yang awam dgn ilmu Fiqih.
Trimaksih sebelumnya kami ucapkan.
Alhamdulillah mudah d pahamii
ReplyDeleteBismillah semoga ilmune barokah Aamiin..