Fiqih 4 Mazhab Munakahat (Nikah)
Pada
bab ini kita akan membahas munakahat menurut para ulama mazhab (Hambali,
HanafI, Syafi’i dan Maliki).
1. Akad
Nikah
Para ulama mazhab sepakat
bahwa pernikahan di anggap sah jika di lakukan dengan akad, yang mencakup ijab
dak qabul antara keduanya, dan sebaliknya tidak akan sah jika tidak di sertai
dengan akad. Para ulama mazhab juga
sepakat bahwa nikah itu sah bila di lakukan dengan menggunakan redaksi
“zawwajtu” (aku mengawinkan) atau “ankahtu” (aku menikahkan) atau orang yang
mewakilkannya dengan redaksi “qabiltu” (aku terima) atau “radhitu” (aku
setuju).
2. Saksi
Akad Nikah
Disini
para ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya nikah tanpa saksi. Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu
tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi
memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki
dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil.
Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi
laki-laki muslim dan adil, sedangkan Maliki
saksi tidak wajib hukumnya dalam akad nikah.
3. Wali Nikah
Pembahasan
ini meliputi masalah-masalah sebai berikut:
·
Wanita yang Balingh dan Berakal
Semuau
ulama mazhab kecuali Hanafi berpendapat: jika wanita yang baligh, berakal,
sehat dan itu masih gadis, maka hak mengawinkannya ada pada wali, akan tetapi
jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya: wali tidak boleh menikahkan
wanita janda itu tanpa persetujuannya,dan sebaliknya janda itu tidak boleh
mengawinkan dirinya tanpa restu walinya.
Sementara
Hanafi sebaliknya, mengatakan bahwa
wanita yang baligh, sehat dan berakal boleh memilih sendiri suaminya dan boleh
pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada
seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya,
dengan syarat, orang orang yang di pilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsli.
4. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi
Larangan
itu ada dua bagian: karena hubungan nasab dan karena sebab (yang lain).
Larangan yang pertama ada 7 macam, dan itu menyebabkan keharaman untuk
selama-lamanya. Sedangkan yang kedua ada sepuluh macam, yang sebagian
mneyebabkan keharaman untuk selamanya, dan sebagian lagi hanya bersifat
sementara.
I.
Larang karena nasab
Para
ulama mazhab sepakat bahwa wanita-wanita yang tersebut di
bawah ini haram dikawini karena nasabnya:
1) Ibu,
termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.
2) Anak-anak
perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau perempuan, hingga
keturunan di bawahnya.
3) Saudara-saudara
perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu.
4) Saudara
perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari piahak ayah dan
seterusnya.
5) Saudara
perempuan ibu, termasuksaudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah dan
seterusnya.
6) Anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.
7) Anak-anak
perempuan saudara perampuan hingga keturunan di bawahnya.
Adapun
dalil yang menjadi pijakannya adalah [Q.S.4:23]:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan ... ”
II.
Karena ikatan perkawian (mushaharah)
Mushaharah
adalah hubungan anatara seorang laki-laki dan
perempuan yang dengn itu menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu
diantaranya:
1) Isrti
ayah (mertua)
Seluruh
amazhab sepakat bahwa istri yah haram dinikahi oleh anak
kebawah. Dengan dalil firan Allah [Q.S.4:22]
“Dan janganlah kau kawini
wanita=wanita yang telah dikawini ayahmu”
2) Istri
anak (menantu)
Seluruh
mazhab sepakat bahwa istri anak laki-laki haram di kawini
oleh ayah ke atas, dengan dalilnya [Q.S.4:23]
“(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)”
3) Ibu
istri, Seluruh mazhab sepakat bahwa
ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas adalah haram dikawini, dengan
dalil [Q.S.4:23]
“(dan
diharamkan bagimu) ibu-ibu istrimu (mertua)”
4) Anak
tiri, Seluruh mazhab sepakat bahwa
anak perempuan istri (anak perempuan tiri) haram dinikahi sepanjang ibunya
belum dicampuri, dipandang dan disentuh dengan birahi, dengan dalilnya [Q.S.]
“dan
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaamu dari istri yang telah kamu campuri”
III.
Menyatukan dua wanita “muhrim” sebagai
istri
Seluruh mazhab
sepakat dalam hal ini keharaman mengawini dua wanita bersaudara sekaligus
berdasarkan firma Allah [Q.S.4:23]:
“dan haram bagimu menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara”
IV.
Pernikahan beda agama
Semua mazhab sepakat
bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin dengan orang-orang yang
tidak mempunyai kitab suci. Orang-orang yang termasuk kategori ini adalah
orang-orang yang menyembah selain kepada Allah.
Keempat mazhab juga
sepakat bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini wanita ahli kitab yaitu
wanita-wanita Yahudi dan Nasrani, dan tidak sebaliknya.
Seluruh mazhab sepakat (kecuali
Maliki) bahwa perkawinan yang di
selenggarakan oleh orang-orang non-muslim adalah sah seluruhnya, selama
perkawinan itu di selenggarakan dengan keyakinan yang mereka yakini. Kecuali Maliki bahwa perkawinan yang di
selenggarakan orang-orang non-muslim tidak sah. Dalam hadist Nabi Saw di
tegaskan:
“Barang siapa yang memeluk sutau
agama suatu kaum, maka dia harus di kenai oleh hukum-hukum yang berlaku di
kalangan kaum muslimin itu ...berlakukanlah atas mereka hukum-hukum yang mereka
berlakukan atas diri mereka.”
5.
Mahar
Mahar adalah satu di
antara hak istri yang di dasarkan atas kitabullah, sunah rasul dan ijma’ kaum
muslimin. Mahar ada dua macam yaitu mahar musamma
dan mahar mitsli.
1. Mahar
Musamma
Mahar
musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan
yang disebut dalam redaksi akad. Para
ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar, tersebut
karena adanya firman Allah [Q.S.4:20]
“Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali.”
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas
minimalnya. Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa tidak ada
batas minimal dalam mahar. Sementara Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimalnya
adalah 10 dirham. Kalau sutau akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka
akad tetap sah, dan wajib membayar mahar
10 dirham. Sedangkan Maliki
mengatakan jumlah minimal mahar adalah 3 dirham. Kalau akad dilakukan dengan
mahar kurangbdari 3 dirham, kemudian terjadi percamouran, maka suami harus
membayar 3 dirham, tetapi jika belim di campuri dia boleh memilih antara
membayar 3 dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau menfaskh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.
2. Mahar
Mitsli
Tentang
mahar mitsli, ada beberapa situasi yang diberlakukan padanya yaitu:
a) Para ulama mazhab
sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, tetapi merupakan salah satu
konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut)
mahar, dan bila terjadi percampuran, ditentukanlah mahar mitsli. Kalau kemudian si istri ditalak sebelum di campuri, maka
dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus di beri mut’ah.
Hanafi
dan
Hambali mengatakan bahwa manakala
salah satu di antara mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka
di tetapkan bahwa si istri berhak atas mahar mitsli secara penuh
sebagaimana ketentuan yang berlaku bila suami telah mencapuri
istrinya.Sedangkan Maliki mengatakan
bahwa tidak ada keharusan membayar mahar manakala salah seorang di antara
keduanya meningal dunia sebelum terjadi percampuran.
b) Apabila
akad di laksanakan dengan mahar yang tidak sah.
c) Percampuran
syubhat, para ulama mazhab sepakat
mengharuskan di bayarkannya mahar mitsli.
Yang dimaksud dengan mencapuri karena syubhat adalah mencampuri seorang wanita
yang sebenarnya tidak berhak di campuri karena ketidak tahuan pelaku bahwasanya
pasangannya itu tidak berhak di campuri. Dengan kata lain yang di sebut syubhat
itu adalah terjadinya percampuran di luar pernikahan yang sah, disebabkan oleh
suatu hal yang dimaafkan oleh syar’i yang melepaskannya dari hukuman had.
d) Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa barang siapa
yang memperkosa seorang wanita, maka dia harus membayar mahar mitsli, tetapi bila wanita itu bersedia
melakukannya (denag rela), maka laki-laki itu tidak harus membayar mahar
apapun.
e) Apabila
seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan syarat tanpa mahar, maka
menurut seluruh mazhab kecuali Maliki akat tersebut hukunya sah,
sedangkan Maliki mengatakan bahwa,
akad tersebut harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran, tetapi apabila
sudah terjadi percampuran, akad tersebut di nyatakan sah apabila dengan mahar mitsli.
Menurut Hanafi, mahar mitsli
ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan
suku ibunya. Tetapi menurut Maliki mahar
mitsli ditetapkan berdasarkan keadaan
wanita tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi’i menganalogikan istri dari anggota keluarga, yaitu istri
saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan dan seterusnya. Bagi Hambali halim harus mahar mitsli dengan menganalogikan dengan
wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi.
3. Syarat
Mahar
Mahar
boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa
mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau
secara global semisal sepotong emas atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa
diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah
mahar, maka menurut seluruh mazhab
kecuali Maliki, akad tetap sah,
tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki
berpendapat bahwa akadnya tidak sah dan di faskh
sebelum terjadi percampuran, tetapi bila telah di campuri, akad dinyatakan sah
dengan menggunakan mahar mitsli. Maliki mengatakan
bahwa bila belum terjadi percampuran akadnya tidak sah. Tetapi bila telah
terjadi percampuran maka akadnya dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar
mitsli. Sementara itu, Syafi’i, Hanafi dan Hambali
berpendapat bahwa, akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar mitsli.
No comments:
Post a Comment